Pre Wedding

 

Saat itu gedung kantor tempatku bekerja sedang direnovasi, jadi kantor dialihkan ke tempat lain tidak jauh dari gedung kantor yang sedang direnovasi. Setiap pergi dan pulang kerja, aku melintasi gedung kantor yang sedang direnovasi tersebut. Tak sengaja aku melihat ke arah seorang pekerja yang ada di kompleks renovasi gedung, pekerja itupun melihat ke arahku dengan tatapan dingin. Setiap hari kami hanya saling menatap tanpa sapaan sepatah katapun.

            Suatu hari, aku ditugaskan untuk mengecek sampai sejauh mana renovasi gedung kantor kami. Tanpa sengaja aku melihat pekerja itu lagi, namun saat ini dari jarak yang sangat dekat. Kami saling menatap dalam diam, kesunyian membuatku gugup. Namun aku mencoba untuk bersikap normal, walaupun tubuhku ini terasa kaku untuk bergerak apalagi melangkah.

            “Ada apa bu?” pertanyaan pekerja itu mengagetkan lamunanku.

            “Oh, iya mas. Saya mau mengecek sampai seberapa jauh proses renovasinya?” ucapku terbata-bata.

            “Ya, sudah 50 persen bu. Silahkan sambil dicek sendiri!” kata pekerja itu kemudian.

            “Maaf, boleh bertanya? Nama ibu siapa?” tanya pekerja tadi.

            “Oh, saya Sinta! Kalau mas siapa namanya?” aku balik bertanya.

            “Sa…Saya Iwan, bu!” jawab pekerja itu terbata-bata.

Setelah itu aku berpamitan pada Iwan kemudian kembali ke kantor. Sampai dikantor aku tidak langsung melaporkan hasil pekerjaanku mengecek renovasi gedung, aku hanya duduk termenung di mejaku, masih terbayang wajah Iwan di mataku.

            Sore hari setelah jam kantor usai, aku pulang bersama Reni teman sekantorku. Sampai di rumah telah menjelang magrib. Aku masih terbayang wajah pemuda di tempat renovasi gedung siang tadi.

            “Iwan, mengapa wajahnya selalu terbayang di depan mataku, masih terngiang suaramu  saat memanggilku, Ibu.” aku bergumam dalam hati.

Hari-hari berikutnya aku dan Iwan sering bertemu di proyek renovasi gedung itu, kami sering berbincang masalah pekerjaan. Namun, lama kelamaan kami tidak hanya membicarakan pekerjaan, namun berlanjut ke masalah pribadi.

            “Maaf bu Sinta, boleh saya bertanya?” ucap Iwan kepadaku suatu hari.

            “Oh, iya boleh, mau tanya tentang apa?”

            “Emm…, apakah ibu sudah berkeluarga?” tanya Iwan selanjutnya.

            “Belum, pacar saja belum punya kok?”

            “Beneran nih? Serius?”

            “Iya, benar. Memangnya kenapa? Mau dicariin ya?”

            “Boleh, tapi beneran mau kalau dicariin pacar?’

            “Ya…., lihat-lihat orangnya, kalau kira-kira cocok, boleh juga!”

            “Sudah ada sih sebenarnya yang mau jadi pacar ibu, kalau mau.”

            “Siapa?” aku bertanya penasaran.

            “Ini, orangnya dah ada di sini, didepan ibu!”

            “Hah!” aku terkejut mendengar ucapan Iwan, pipiku memerah karena malu.

            Sejak siang itu hubunganku dan Iwan semakin dekat, bahkan bisa dibilang kami pacaran. Hanya dalam waktu tiga bulan sejak pertama kali aku bertemu dengan Iwan, kami memutuskan untuk menikah.

Awalnya aku masih ragu saat Iwan mengatakan akan melamarku, sampai-sampai aku tidak sempat bilang dengan kedua orang tua kalo Iwan mau melamarku.. Kedua orang tuaku sampai marah karena aku tidak bilang kepada mereka kalau Iwan akan datang melamarku,  sehingga sama sekali tidak ada persiapan di rumah. Akhirnya pada saat keluarga Iwan benar-benar datang ke rumahku, keluargaku hanya bisa menanggapi dengan sederhana karena tanpa persiapan sama sekali.

“Tok tok tok, assalamu”alaikum.” terdengar ketukan pintu dan ucapan salam di luar.

“Wa’alaikum salam.” Ayahku menjawab salam sambil bergegas menuju pintu depan.

“Mari, silahkan masuk!”

“Iya, terimakasih!”

“Sini Bu, ada tamu nih!” ucap ayahku memanggil ibuku yang baru sibuk di dapur.

“Iya, sebentar Pak!”

Tak lama kemudian ibuku muncul dari balik pintu, kemudian berjalan menghampiri keluarga Iwan yang telah duduk di ruang tamu sambil membawa minuman untuk tamu.

“Mari, silahkan minum dulu Pak!” ucap ibuku mempersilahkan minum.

“Oh, iya Bu, terimakasih.”

Setelah sedikit berbasa-basi, keluarga Iwan mulai membuka pembicaraan tentang maksud kedatangan mereka ke rumah kami. Ayah dan ibuku setuju aku menikah dengan Iwan, meskipun awalnya ibuku kurang setuju karena Iwan hanya seorang buruh harian, yang penghasilannya tidak menentu.

Waktu itu aku memang tidak menuntut calon suami harus bekerja dengan penghasilan yang besar, tapi yang penting mau bekerja, berusaha, dan bertanggung jawab menafkahi keluarga. Karena waktu itu juga alkhamdulillah aku sudah diterima sebagai PNS, maka saya tidak menggantungkan semua beban keluarga pada suami. Lagi pula aku bukan tipe orang yang hanya ingin menikmati hasil kerja suami, aku ingin bekerja sendiri dan tidak harus tergantung pada suami. Mendapatkan hasil dari usaha sendiri itu sangat memuaskan bagiku, tidak perlu tergantung kepada orang lain walaupun itu suami sendiri.

Setelah kesepakatan dibuat, akhirnya diputuskan hari pernikahan kami berselang dua bulan setelah prosesi lamaran. Kedua orang tuaku dan keluarga mulai sibuk mempersiapkan pesta pernikahan yang tinggal dua bulan lagi. Persiapan pesta mulai dari memperbaiki bagian-bagian rumah yang sudah tidak pantas, memilih dekorasi, memilih gaun pengantin, undangan,  konsumsi, dan lain-lain. Aku dan Iwan sibuk mencari baju pengantin, kami tidak mencari baju yang mewah tapi yang cukup baguslah.

Dalam persiapan pernikahan hanya hal kecil yang jadi permasalahan, ketika itu ibuku menghendaki pesta yang sederhana saja tidak usah mengundang banyak orang. Namun aku tidak setuju, karena nanti pasti teman-teman seprofesi banyak yang akan hadir pada pernikahanku , maka akupun memutuskan untuk membuat pesta yang sederhana tapi pantaslah untuk menyambut teman-teman. Karena keputusanku tersebut, maka konsekuensinya aku ikut membantu sebagian dari biaya pesta pernikahan tersebut dengan tabunganku yang tidak seberapa.

Alkhamdulillah, pesta pernikahan pun akhirnya dapat terlaksana dengan lancar tidak ada halangan sedikitpun, meski hanya sebuah pesta yang sederhana namun cukup meriah. Aku berharap pernikahan ini adalah pernikahan pertama dan terakhir bagiku. Aku ingin membangun keluarga kecil bahagia yang dihiasi dengan tawa canda anak-anak kami nanti. Semoga anak-anakku kelak menjadi anak yang sholeh-sholehah dan berbakti pada kedua orang tuanya.

***

Comments

Popular posts from this blog

Mengirim Naskah Buku ke Penerbit

Puisi 35 #Kumandang Takbir

Puisi 19 #Kertas